Secadm ??

on Rabu, 30 Maret 2011


Secadm ??
Karya Sherly Isma K

Pagi ini cahaya mentari laksana mata pisau yang menggoreskan sayatan kemilaunya dikedua bola mataku. Hadirnya menggatikan tugas Chandra , mengisyaratkan awal harapan dihari yang baru. Embun pagi seolah menjanjikan kesejukan dikelopak mataku untuk melihat indahnya hari ini. Kicauan burung – burung kecil tak henti melantunkan asanya. Hamparan sawah yang terselubung kabut putih menambah suasana romantisnya alam. Sungai berliku yang menyisir kaki gunung menambah keelokan gunung yang masih malu – malu untuk menampakan wajahnya. Pohon – pohon rindang ditepi sungai  riang menggugurkan daunnya yang telah menguning. Jika dilihat kearah selatan, sehamparan padang rumput yang hijau telah dipenuhi oleh berbagai hewan ternak yang tak henti – hentinya mengunyah rumput.
Ya, pagi ini adalah hari yang indah, aku akan memulai hari ini dengan doa dan semangat. Doa agar hari ini lebih baik dari hari yang lalu dan semangat yang akan membuat hidup ini menjadi lebih bermakna.
Waktu telah menunjukan pukul 06.15, saatnya aku bergegas kesekolah. Untukku, bersekolah bukan suatu beban, melainkan suatu kegiatan yang mengasyikan apabila kita melakukannya dengan senyum ikhlas.

                                                *     *    *

Dari kejauhan terlihat Uchie yang sedang berjalan sendiri menuju kelas X.1. Uchie  adalah teman yang baru saja aku kenal di SMA ini, tetapi aku merasa seperti telah kenal lama dengannya. Dimana ada aku pasti ada Uchie, begitu pula sebaliknya. Entah takdir atau hanya kebetulan, aku dan Uchie memiliki banyak kesamaan, bahkan sampai hal yang sifatnya “Pribadi”.
“Eh Chie..!!” aku menyapa Uchie dengan nafas yang terengah – engah karena berlari tuk menghampiri Uchie.
“Iya, eh kamu Na, oh iya kamu udah ngerjain PR Matematika?” Tanya Uchie.
“Hmmm…. Tentang Logaritma ya?”  Aku balik bertanya.
“Iya Na.” jawabnya singkat.
“ Tenang , aku udah kok.” Ujarku.
“Hehehe, bagus deh. Nanti aku liat ya Na!” sahut Uchie.
Kami melanjutkan berjalan ke kelas. Setibanya dikelas aku bertemu Icha dan Rara yang sedang berbincang. Icha adalah temanku yang pintar menghibur orang dengan ocehannya yang sedikit “nyablak” dan lucu, sedangkan Rara adalah temanku yang paling dewasa dan puitis.
“Icha, Rara, kalian lagi ngomongin apa sih?? Keliatannya serius banget!” aku bertanya penasaran.
“Ngomongin apa ya?? Mau tau aja!”  Icha menjawab dengan perkataannya yang sedikit mengesalkan.
“Oh ini Na, kita lagi ngomongin tentang planet Mars,” rara  menjawab dengan serius.
“Tentang isu adanya kehidupan di Mars ya??” Uchie berusaha menebak
“Betul betul betul..” icha menjawab dengan celotehnya yang lucu
“Hmmm… aku juga pernah baca disebuah buku astronomi, disitu dijelasin kalo sebenernya  pernah ditemukan sesuatu yang menandakan pernah ada kehidupan di Mars. Terus, katanya kondisi Mars juga hamper mirip sama bumi.” Aku coba menjelaskan.
“Tapi…. Walaupun kondisi Mars hampir mirip sama bumi, yaitu punya atmosfer, adanya dua kutub, cuaca dan iklim. Tetep aja kondisi Mars itu gak memungkinkan adanya kehidupan. Kan di Mars itu nggak ada air.” Uchie mencoba menyanggah penjelasan dariku.
“Iya, lagi pula atmosfer Mars seratus kali lebih tipis dari atmosfer bumi, dah gitu suhunya kalo malem bisa sampe -100 derajat C. kebayang gak, gimana dinginnya? Jadi mana mungkin ada kehidupan?” Rara ikut mempertegas.
“Kalo mau lebih jelas, mending nanti kita Tanya aja sama Bu Ririn!” seru Icha.
“Iya, bener tuh Cha!” sambut Uchie.
Bel masuk telah berbunyi. Aku kembali ketempat dudukku, menunggu Bu Enfa datang untuk menyampaikan materi pelajaran kimia. Sebenarnya aku tidak terlalu suka dengan pelajaran kimia, karena menurutku kimia lebih rumit dengan rumus  dan istilah – istilah yang aneh. Apalagi nama unsur – unsur kimia itu sangat banyak. Aku tak sanggup untuk menghafalnya. Disaat teman – teman kelas tengah bercengkrama dan lain sebagainya, tak berselang lama Bu Enfa masuk kelas untuk menyampaikan materi kimia.
“Assalamu’alaikum anak – anak.” Salam Bu Enfa sambil membuka pintu kelas.
“Wa’alaikum salam.” Sahut anak – anak kelas.
Bu enfa segera menjelaskan materi pelajaran, tetapi tak berapa lama kemudian bu Enfa meninggalkan kelas, apakah bu Enfa marah dengan aku dan teman – temanku? Aku keluar kelas dan berusaha mengejar bu Enfa untuk menanyakan mengapa beliau meninggalkan kelas, padahal jam mata pelajaran kimia belum selesai.
“Bu… Bu Enfa.”aku berteriak memanggil Bu Enfa
“Ya, ada apa Na?
” Bu Enfa menoleh kearahku
“Kenapa ibu keluar kelas, padahalkan jamnya belum habis?” tanyaku dengan penasaran
“Oh, ibu mau ngasih bimbel buat yang ikut olimpiade kimia. Tadi ibu udah ngasih tau ke ketua kelas kamu kok, kalau ibu nanti itu ngajarnya gak sampe jam pelajaran abis.” Bu Enfa menjawabnya dengan lengkap.
“Gitu ya bu? Emang yang ikut olimpiade kimia siapa bu?” tanyaku
“Kak Adit anak kelas IPA 3,” jawab beliau.
“Oh… Gitu. Ya udah makasih ya bu!” ujarku
“Iya sama – sama Na. udah sana kamu masuk kelas!” suruh bu Enfa.
Aku segera masuk ke kelas dan  mengerjakan tugas yang diberikan bu Enfa.

                                                *     *    *

Bel pulangpun berbunyi. Saatnya istirahat. Sebelum jam bimbel dimulai. Rasa penat mulai melandaku, bayangkan saja mulai dari pagi hingga siang  materi pelajaran selalu memenuhi otakku. Belum lagi pelajaran bimbel hari ini agak menyebalkan. Ya, pelajaran fisika dan bahasa Inggris. Fisika yang selalu berkaitan dengan rumus inilah, rumus itulah, hukum inilah, hukum itulah, pusing aku dibuatnya. Apalagi bahasa Inggris, aku sangat membencinya, menurutku bahasa Inggris itu menakutkan.
Tiba – tiba aku ingat satu hal. Bagaimana jika aku mengumpulkan gelas bekas air mineral untuk nenek pemulung? Dari pada diam saja. Gelas bekas itu pasti sangat berarti untuk nenek pemulung yang sering mengais barang – barang bekas yang ada di sekolahku. Biasanya aku mengajak Icha untuk mencari gelas bekas itu. Maklum, dia itu orang yang tidak pemalu, jadi aku nyaman untuk mengajaknya.
“Icha, kamu lagi sibuk ga?” aku coba tuk berbasa – basi terlebih dahulu.
“Aku lagi sibuk. Tapi boong! Hehehe….” Icha mencoba melucu dengan leluconnya yang garing.
“Cha, kita cari gelas bekas yuk!” Ajakku.
“Ayo. Tapi carinya dikelas sebelah aja ya..! aku males kalo nyarinya jauh – jauh, panas.” Sru Icha.
“Siip deh! Ayo buruan entar keburu masuk bimbel.” Sambil menarik tangan Icha.
Aku dan icha berjalan dilorong kelas. Kelas yang ada disamping kelasku adalah kelas XI IPA 3 dan XI  IPA 4. jam segini pasti kelas itu sudah kosong, karena para penghuninya sudah pulang ke rumahnya masing – masing. Tetapi, dugaanku kurang tepat, kakak – kakak kelas XI IPA 3 belum pulang. Aku bingung, bagaimana caranya agar aku bisa mengambil gelas – gelas bekas yang berserakan di kolong meja dan bangku mereka. Aku menyuruh Icha saja yang masuk kedalam kelas untuk mengambilnya. Karena aku merasa canggung jika harus berbicara dengan kakak kelas.
“Cha, kamu aja ya yang masuk !” suruhku.
“Kamu aja!” icha membalasnya.
“Udah kamu aja, aku takut kalo ngomong sama kakak kelas!” Aku coba menjelaskan.
“Takut? Kakak kelas udah jinak kok! Hehehe…….” Icha melucu lagi.
“Aku serius Cha. Kamu aja ya!” aku memohon
“Iya, Iya, tapi kamu juga ikut masuk!
“OK!”
Dengan percaya dirinya Icha menghampiri kelas itu. Hingga…………
“Assalamu’alaikum” ucap Icha sambil mengetuk pintu kelas XI IPA 3
“wa’alaikum salam, ada apa de?” sahut salah seorang yang sedang duduk sambil membaca sebuah buku non fiksi di ujung barisan tempat duduknya.
“Maaf kak, kita mau ngambil gelas – gelas bekas yang ada dikelas ini, boleh nggak kak?” Tanya Icha dengan serius.
“Yaudah masuk aja de!” sahutnya dengan ramah
“Makasih ya ka”
“iya sama – sama”
Icha dengan semangat segera menarik tanganku yang sedang menjinjing plastic hitam tempat dikumpulkannya gelas – gelas bekas. Ia mengajakku untuk memasuki kelas itu. Akupun segera memasuki kelas itu, tetapi saat memasuki kelas itu pandanganku tidak tertuju pada gelas – gelas bekas yang berserakan melainkan kepada kakak ramah yang telah mengizinkanku dan Icha untuk memasuki kelasnya. Charisma yang ada didirinya seolah menarik perhatianku. Dia terlihat sangat berbeda dengan remaja lelaki lainnya. Tutur katanya sangat lembut dan wajahnyapun tampak bercahaya. Entah  mengapa aku menjadi nyaman untuk menatapnya berlama – lama.
Setelah merasa gelas bekas yang kami kumpulkan telah cukup banyak. Akhirnya Icha mengajakku pergi dari kelas itu.
“Na, udah yuk, gelasnya udah banyak nik!” seru Icha
aku masih terdiam sambil menatap wajah kakak kelas tadi.
“Na, ayo buruan!!” Icha berseru lagi.
Aku masih saja menatap dan memperhatikan kakak yang ramah tadi.
“Alsiana Tri Astuti !!!!!” Icha meneriakiku dengan suaranya yang cukup besar
“Hah ada apa Cha??” akupun terkejut
“kamu nih, udah dari tadi aku panggil, tetep aja gak denger!” Icha kesal karena sikapku.
“Maaf Cha”
“Ya udah, buruan kekelas ntar keburu pak Gono masuk!”
aku dan Icha berjalan menuju ruang kelas. Di tengah perjalanan menuju kelas, aku menyempatkan diri bertanya pada Icha tentang kakak kelas yang tadi.
“Cha, kamu tau gak, kakak kelas yang tadi itu namanya siapa sih?” tanyaku penuh penasaran.
“Yang mana?”
“Yang tadi udah ngizinin kita masuk kelasnya,” aku sedikit menjelaskan
“Ooh, yang tadi itu namanya kak Adit. Dia kan stu ekskul sama aku.” Icha menjawabnya dengan jelas.
APA?? Jadi itu yang namanya kak Adit??” aku kaget mendengarnya.
“Iya emangnya kenapa sih?”
“Gini, tadi aku denger dari Bu Enfa katanya kakak kels yang ikut olimpiade kikia itu namanya kak Adit anak kelas XI IPA 3, ternyata yang itu loh orangnya, aku baru tau.”
“Iya, yang itu Na!” sahut Icha.

                                                *     *    *

Saat ini pukul 16.00. aku segera pulang kerumah. Aku merasa sangat lelah, sesampainya dirumah aku segera mandi dan setelah itu aku beristirahat di kamar sambil mendengarkan lagu – lagu band d’MASIV yang lirik lagunya sangat menentuh. Tetapi tiba – tiba saja aku teringat pada kak Adit. Aku bingung kenapa aku jadi seperti ini? Aku selalu memikirkan kak Adit, yang kelas yang bertubuh tidak terlalu besar , berbadan tegak, dengan gigi kelinci yang ia miliki, yang membuat ia terlihat semakin imut. Sempat terlintas dibenakku, apakah aku sedang merasakan yang namanya cinta? Ah, dalam kamus remajaku, tidak ada kata cinta. Tapi hal itu sangat sukar tuk dielakan, cinta pasti menghampiri setiap insane manusia dan hadirnya cinta takkan dapat ditepiskan. Apakah ku tlah siap tuk jatuh cinta?


                                                *     *    *

Keesokan harinya, disekolah…
“Chie, aku lagi bingung nih!” eluhku
“Bingung kenapa Na?” Tanya Uchie
“Jadi gini, kemaren aku ngeliat kakak kelas dia baik banget. Semenjak ketemu sama dia, aku selalu inget dia, aku bingung kenapa aku jadi kayak gini?” Aku mencurahkan semua perasaanku kepada Uchie
“Cieeee… Mungkin kamu suka sama dia. Emang namanya siapa. Kelas berapa?”
“Namanya kak Adit, kelas XI IPA 3.” Jawabku
“Wuiih… Pantes aja kamu suka sama dia, secara dia kan master kimia.”
“Hehehe… Kok kamu tau sih?”
“Ya tau lah. Kak Adit kan terkenal disekolah ini gara – gara dia pinter. Ya udah Na, mending kamu cari tau tentang kak Adit. Kalo perlu kamu minta nomor HP-nya aja.” Suruh Icha.
“Oke deh! Nanti aku coba”
Berhari – hari aku mencaritahu tentang kak Adit. Mulai dari hal kesukaannya, tempat tinggalnya, nomor Hp-nya, hingga hari ulang tahunnya. Setelah aku berusaha mencari informasi tentang kak Adit, aku mulai mengetahui beberapa hal yang ia sukai. Ia sangat menyukai pelajaran kimia, olah raga yang paling ia sukai adalah voli dan satu kebiasaannya yang jarang ada disetiap orang adalah ia selalu luangkan waktuistirahat saat sekolah untuk melaksanakan solat dhuha. Sungguh kebiasaan yang luar biasa. Tapi ada satu hal yang belum aku ketahui dari kak Adit. Ya, aku tidak mendapatkan nomor HP-nya. Menurut informasi dari teman – temannya, kak Adit tidak mempunyai HP. Aku mulai bingung, bagaimana aku dapat berkomunikasi dengan kak Adit? Apakah aku  harus berbicara langsung padanya? Sepertinya tidak, karena aku bukanlah gadis pemberani. Aku coba untuk memutar otak, agar aku tetap dapat berkomunikasi dengan kak Adit, tanpa harus berbicara langsung dengannya.
Pusing….. Itulah yang aku rasakan saat ini. Hingga akhirnya aku menemukan suatu ide. Ide yang mungkin tidak sesuai dengan zaman sekarang bahkan terkesan “jadul”. Tapi aku yakin hanya itulah satu – satunya cara agar aku bisa berkomunikasi dengan kak Adit. Aku segera menceritakan hal ini pada Uchie.
“ Chie, aku akan cari tau tenttang kak Adit, tapi aku gak dapet nomor HP-nya, soalnya dia gak punya HP” aku menceritakannya.
“Trus, kalo dia gak punya HP, gimana kamu bisa komunikasi sama dia?”
“Tenang, aku udah punya cara buat berkomunikasi sama kak Adit.”
“Gimana caranya?” Uchie kembali bertanya
“Aku bakal ngirimin dia surat – surat, yang aku taruh dikolong mejanya.”
“Apa kamu yakin kalo cara itu bisa berhasil?”
“Aku yakin kok”
“Ya udahlah kalo kamu udah yakin, teru kamu mau kasih surat itu kapan?”
“hari ini.”
Saat bel pulang berbunyi, seluruh anak keluar meninggalkan kelasnya masing – masing, begitu pula dengan kak Adit. Setelah kondisi sekolah agak sepi aku coba mengintip kelas kak Adit. Ternyata ruang kelasnya sudah kosong, lalu dengan langkah yang mengendap – endap, aku masuk kekelas itu dan meletakkan secarik surat dikolong meja yang berada dipojok yang berada dipojok belakang barisan sebelah kanan ( tempat duduk kak Adit ). Isi suratnya adalah:

Untuk Muhammad Khoirul Aditya
            Hai Adit…..
             Salam kenal ya!!

                                                From : Your secret admirer
Saat aku dan Uchie keluar dari kelas itu, tiba – tiba………
“Eh Na, kamu sama Uchie abis ngapain?” Tanya Icha
“E…..E… Nggak ngapa – ngapain kok..” Aku kaget karena Icha memergoki aku dan Uchie
“Masa sih? Udah ngaku aja, kamu abis ngapain?” Paksa Rara
“Si Nana abis ngirim surat ke kak Adit!” seru Uchie dengan polosnya
“Ssstt.. Uchie kamu jangan bilang – bilang dong!” Aku membisiki Uchie
“Hmmm…. Kamu suka ya sama kak Adit?” Tanya Rara
“Ciee.. Ternyata Nana bisa jatuh cinta juga!” Seru Icha
“Bukan gitu. Aku kagum sama dia aja kok.”
“Yaelah, kalo kamu suka sama dia juga gak apa – apa kok. Jatuh cinta kan hal yang wajar.” Tutur Rara
“Iya iya,” Jawabku singkat


                                                *     *    *

Akhir – akhir ini rutinitasku semakin bertambah. Mulai dari tugas sekolah yang makin banyak hingga tugas – tugas rumah yang menumpuk. Tapi aku selalu meluangkan waktu untuk pulang agak sore, agar aku dapat memperhatikan dan mengirim surat ke kak Adit. Setiap pulang sekolah, aku selalu mengecek kolong meja kak Adit, hingga aku menemukan sebuah surat dikolong meja kak Adit yang isinya :
“Kamu siapa?
Kelas berapa?
Kok kamu tau tentang aku?”
Betapa senang hatiku saat ku mengetahui kak Adit membalas suratku, tetapi aku juga bingung harus membalas surat itu dengan kata – kata apa. Tidak mungkin jika aku harus memberikan  identitasku yang sebenarnya. Akhirnya aku menceritakan hal ini kepada Rara. Aku meminta Rara untuk membantuku membalas surat dari kak Adit. Biasanya Rara memiliki banyak kata – kata yang indah, menurutku kata – kata ( puisi ) Rara memiliki makna yang sangat menyentuh. Aku memohon pada Rara agar ia mau membantuku. Akhirnya ia membuatkan puisi yang isinya sepertinya ini:

Untuk Muhammad Khoirul Aditya
    Mungkin salah jika aku menguraikan ini.
    Tapi ku pikIr ini tak ada salahnya jika memang setiap manusia berhak untuk   
     merasakannya.
    Kamu mungkin heran dengan ini.
    Tapi semua kelebihan didirimulah yang telah membuat tangan ini mengukir
    Tinta penuh bunga – bunga kekaguman
                                                            From: your secret Admirer

Setelah surat itu selesai dibuat, aku segera menaruhnya dikelas kak Adit, tetapi saat aku melihat kelas XI IPA 3 ternyata kelas itu telah dikunci, hanya jendelanya saja yang terbuka. Langsung terlintas hal yang konyol di pikiranku. Aku menyuruh Icha untuk melompati jendela itu.
“Cha, kamu mau Bantu aku gak?”
“Bantuin apa?”
“Loncat jendela XI IPA 3!” seruku
“Hah? Loncat jendela? Gak salah?”
“Iya, tolong Cha!” seruku lagi
“Udah gila kali kamu Na, aku gak mau ah.” Icha menjawabnya
“Icha,tolonglah temanmu yang satu ini!” aku memelas didepan Icha
“Iya deh, tapi kamu liatin ya, jangan sampe ketahuan, oh ya tempat duduknya kak Adit yang mana?”
“pokoknya yang paling belakang, diujung kanan!” Aku menjelaskan
“Ooh, ya udah deh.”


                                                *     *    *

Setelah beberapa hari, kak Adit tidak juga membalas surat dariku. Hingga akhirnya aku menghentikan untuk mengirim surat lagi. Setiap hari aku hanya dapat memperhatikan kak Adit dari kejauhan. Memperhatikan saat dia lewat di depan   kelasku, saat dia sedang bermain futsal, saat dia berbicara dengan teman – temannya, pokoknya aku selalu memperhatikan apapun hal – hal yang dia lakukan.
Sekarang aku hanya menjadi pengagum rahasia saja. Secadm ( secret admirer ) itulah jalan yang ku pilih. Secadm itu cukup mengasyikan kok. Gara – gara secadm dengan kak Adit, aku jadi menyukai pelajaran kimia, walaupun ada juga rasa kecewa didalam hatiku, karena cinta yang terpendam ini. Tapi seorang secret admirer tidak pernah mengharapkan orang yang ia kagumi dapat menerima dan mencintainya, melainkan yang ia inginkan hanyalah kebahagian dari orang yang ia kagumi dan tidak menyakiti orang tersebut. Aku akan selalu mengagumi dan mencintai kak Adit walau dalam hati saja.

                                                SELESAI
                                                *     *    *
read more “Secadm ??”


Satu Makna Dari Sebuah Nama


Satu Makna Dari Sebuah Nama
Karya Nur ‘aisyah Afifah

Roda kehidupan terus berputar. Adakalanya seseorang berada diposisi atas, kadang pula berada diposisi bawah. Begitu pula dengan keluargaku. Nama lengkapku adalah Hidayatul Laila. Teman - teman dan keluargaku biasa memanggilku dengan sebutan Laila. Aku senang diberi nama yang sangat indah maknanya. Ya, Hidayatul Laila. Hidayah dimalam hari. Merupakan pengharapan kedua orang tuaku, agar aku selalu menjadi hidayah untuk semua orang. Khususnya untuk kedua orang tuaku. Hobiku adalah menulis. Aku sempat bermimpi ingin menjadi penulis terkenal. Yang semua karya – karyaku dapat dinikmati dengan semua orang.  Sekarang, aku sedang mengenyam pendidikan dibangku kelas 5 Sekolah Dasar. Keluargaku bilang, aku adalah salah satu anak yang ramah dan pandai bergaul, khususnya dilingkungan yang baru aku jumpai.
Aku mempunyai tiga adik laki – laki. Hanya aku anak perempuan yang ada dikeluarga ini. Tak jarang aku selalu dijahili dengan ketiga adik – adikku. Namun, semua itu tak mengurangi rasa sayangku kepada adik – adikku.
Orang tuaku selalu mencukupi kebutuhanku dan juga adik – adikku. Ayahku seorang wirausahawan. Dan ibuku sebagai ibu rumah tangga.
Saat aku naik kebangku kelas 6 Sekolah Dasar, masalah demi masalah kian datang menerpa keluargaku. Usaha ayahku mengalami kebangkrutan. Rumah yang aku tempati tarancam harus dijual. Ayah dan ibuku bingung apa yang harus dilakukan. Dan kini aku dan keluargaku pindah kesebuah kontrakan petak tak jauh dari rumahku yang dulu. Aku yang lugu, yang tak tahu apa – apa heran melihat keadaan ini. Aku bertanya pada ibuku dengan hati heran.
“Bu, mengapa kita pergi dari rumah?” tanyaku heran.
“Rumah kita sudah dijual nak.” Jawab ibu menahan air matanya.
“Terus kenapa rumah kita harus dijual bu?” tanyaku lagi dengan penuh heran.
“kamu tak perlu tahu nak ! belum saatnya kamu mengetahui semuanya.” Balas ibu kembali.
Aku hanya termenung bingung dengan semua keadaan yang menimpa diriku dan keluargaku. Kini, keluargaku sangat tidak nyaman dibandingkan dengan dulu saat keluargaku masih tinggal dirumah sendiri. semua ini sungguh membuat beban ibuku bertambah dengan perginya ayahku. Ayahku pergi entah kemana. Meninggalkan aku, ibuku, dan ketiga adik – adikku. Meninggalkan banyak hutang. Tinggal ibuku yang menanggung kepahitan ini. Dan semua ini mengharuskan ibuku untuk bekerja demi mencukupi kebutuhan keluarga kami. Tak terasa aku termenung sangat lama. Hingga terdengarlah suara adzan dimusolah dekat rumah kontrakanku.
“Allahu Akbar……… Allahu Akbar”
Segeralah aku bergegas mengambil air wudhu dan solat berjamaah dengan ibu dan adik – adikku. Selesai solat aku mengangkat kedua tanganku, memohon dan mengadukan semua keluh kesahku. Dalam do’aku:

“Ya Allah, Yang Maha Pengasih Lagi Maha Penyayang. Aku kembali meminta kepadamu, ampunilah dosaku dan dosa kedua orang tuaku. Mudahkanlah rizki keluargaku Ya Allah. Tabahkan lah hatiku dan ibuku dalam menghadapi cobaanmu. Bantulah aku dalam melewati semua ujian – ujian yang Kau berikan. Ya Allah, aku kasihan melihat ibu. Beliau membanting tulang demi memenuhi kebutuhan hidupku dan ketiga adik – adikku. Berusaha untuk tetap tersenyum, walau aku tahu bahwa hatinya sungguh sakit dan pedih. Bekerja hingga malam hari, menguras semua tenaga hanya untuk memenuhi kebutuhanku dan adik – adikku. Ya Allah aku tak mungkin bisa membalas semua pengorbanan dan jasa – jasanya. Hanya satu aku pinta dari-Mu Ya Allah, masukkanlah beliau kedalam golongan hamba – hambaMu yang kau sayang. Rabbana atina fiddunya hasanah wa fil ahirati hasanah wakinna adza banar. Amin”
selesai solat aku melipat mukenaku dan bergegas untuk belajar. Hingga malam tiba, aku tidur agar esok aku dapat bersekolah.

                     *    *    *

Ditengah malam, aku terbangun. Aku mendengar suara isak tangis yang terdengar begitu pelan. Perlahan aku cari sumber suara tersebut. Tak aku sangka, ternyata dia adalah ibuku. Ibu sedang solat tahajud malam itu. Aku yakin ibu ingin mengadukan semuanya kepada Allah SWT.
Sungguh teriris hatiku mendengar tangisan dari ibunda tercinta. Kini ibuku yang menanggung beban hidupku dan adik – adikku. Tergerak hatiku untuk berusaha membahagiakan ibuku. Mungkin yang bisa aku lakukan pada saat ini adalah belajar dengan sungguh – sungguh, agar aku dapat membuat bangga ibuku. Membuat ibuku senang dan merasa tak sia – sia sudah membanting tulang untuk menyekolahkanku. Saat peristiwa pada malam itu, aku menjadi begitu kesal dengan ayahku. Aku sangat begitu benci dengan ayahku. Bahkan aku sudah menganggap bahwa ayahku sudah tidak ada didunia ini lagi. Semua ini terjadi karena ayahku. Dia adalah laki – laki yang tidak bertanggung jawab. Yang begitu tega menelantarkan aku, ibuku, dan ketiga adikku.
“Ayah, mengapa ayah tega kepada kami?? Mengapa ayah begitu tega?? Kami disini membutuhkan ayah. Mengapa ayah pergi meninggalkan kami?? Mengapa ayah?? MENGAPA???” ujarku kesal dalam hati.
Aku tak dapat menahan air mataku. Pipiku telah terbanjiri air mata. Aku tak tega melihat ibu menangis seperti ini. Perlahan aku mendekati ibu...
“Ibu, ibu yang sabar ya.. Laila pasti akan selalu membahagiakan ibu. Karena hanya ibu yang Laila punya sekarang. Maafkan Laila bu…. Kalau Laila hanya membuat repot ibu. Menjadi beban ibu. Maafkan Laila ibu, Laila belum bisa membalas semua yang telah ibu berikan untuk Laila. Tapi Laila janji bu, Laila akan menjadi anak yang solehah, menjadi anak yang bisa ibu banggakan. Laila sayang sama ibu. Ibu jangan nangis lagi ya…. Kalau ibu sedih, Laila juga ikut sedih.” Ujarku menghibur ibu.
Ibu tersenyum memandangku dan segera menghapus air matanya.
“Laila anakku, kenapa kamu tidak tidur? Ibu tidak menangis ko sayang.. Ibu juga sayang dan bangga denganmu nak. Kita seperti ini karena Allah sayang dengan keluarga kita. Allah sedang menguji kita, Allah ingin tahu sampai mana batas kesabaran kita. Kalau kita sabar menjalani ini semua Allah akan memberikan balasan yang besar kepada kita. Kamu juga yang sabar ya nak. Ibu yakin kamu mengerti.” Jawab ibu memelukku.
Malam itu menjadi malam yang mengesankan untukku dan tak akan pernah aku lupakan. Setelah itu aku pergi meninggalkan ibu bergegas ketempat tidurku.

                     *    *    *

Berbulan – bulan aku dan keluargaku tinggal dirumah petakan itu. Keadaan ekonomi keluargaku semakin sulit. Biaya kontrakan yang cukup mahal mengharuskanku dan keluargaku untuk pindah mencari kontrakan baru yang harga sewanya lebih murah. Akhirnya aku dan keluargaku tinggal dikontrakan yang yah lumayan untuk tinggal keluargaku dan harga sewanya juga  murah. Rumah kontrakan yang terletak tepat disebelah rumah pemilik rumah kontrakan yang aku tempati sekarang. Sejak aku dan keluargaku tinggal disini, masalah demi masalah terus datang menimpa keluargaku. Penagih hutang ayahku selalu datang dan mengancam keluargaku apabila kami tidak cepat membayar hutang yang ayahku pinjam. Ibuku yang sudah lelah dengan pekerjaannya, harus memikirkan bagaimana cara untuk membayar hutang ayahku yang tidak sedikit jumlahnya. Untuk makan sehari – hari saja ibuku sulit mencukupinya. Karena ia hanya berjuang sendiri untuk memenuhi kebutuhan keluarga kami.
Sebelum berangkat sekolah aku luangkan waktuku berjualan keliling untuk membantu pemasukan ibuku. Kehidupan kami pasang surut. Hasil dari berdagang aku coba untuk menyisihkannya, agar kelak aku dan keluargaku dapat pindah dari kontrakan ini dan membeli rumah sendiri untuk aku dan keluargaku tempati. Aku tak pernah malu berjualan, walaupun terkadang teman – teman mengejekku dan menghindariku. Namun aku masih beruntung karena aku memiliki seorang sahabat yang selalu ada disaat suka maupun duka. Dia yang setia mendengarkan ocehanku yang mungkin membuat orang yang tak biasa bosan mendengarnya. Kehidupanku yang begitu sulit tak membuatku menjadi putus asa. Ya, bagiku hidup ini adalah ujian yang untuk mendapatkan kebahagiaan harus berjuang dengan sungguh – sungguh. Dan dinikmati, bukan untuk diratapi. JANGAN MENYERAH !! yah itulah prinsip hidupku. Yang kini bisa membuat aku kuat menjalani hidup yang kejam ini. Masalah ini membuat aku dan keluargaku tahu apa arti hidup yang sebenarnya.

*    *    *

12 tahun kemudian………

“Ibu senang dengan rumah ini??” tanyaku kepada ibu.
“Ibu sangat senang nak, kita bisa punya rumah sendiri. Hidup nyaman dan aman tidak seperti waktu itu. Terima kasih ya nak, karena kamu yang buat ibu semangat. Ibu sayang sekali sama kamu Laila.” Jawab ibu dengan hati yang bangga.
“Ini semua juga berkat ibu. Dukungan dan doa yang ibu berikan membuat aku bisa seperti sekarang ini.” Balas ku.
Ibu tersenyum senang. Hmmm, melihat ibu bisa tersenyum seperti itu membuat aku semakin senang dapat mewujudkan semua impian – impian ibuku. Kini aku sudah menjadi dokter disebuah rumah sakit ternama di Jakarta.
Awalnya aku mencoba ikut tes masuk Universitas kedokteran. Aku mengambil jalur beasiswa. Alhamdulillah, semua perjuanganku tak sia – sia. Kini aku sudah menjadi dokter dan bisa membuat ibuku bangga denganku. Ya, walaupun ini bukan cita – citaku, dan sangat  beda dengan apa yang aku impikan sejak kecil yaitu sebagai penulis terkenal. Tapi, walau begitu aku senang karena aku dapat merubah hidupku yang dulu serta membahagiakan ibu dan adik – adikku. Membuat mereka tersenyum bahagia untuk selama – lamanya. Dukungan yang selama ini ibu berikan serta nasehat yang tak pernah lupa ibu katakan kepadaku merupakan bekal untukku untuk mencapai kebahagian.
Keyakinanku akan sebuah perjuangan hidup ini memang membuahkan hasil yang sangat memuaskan. Terima kasih Ya Allah, atas semua hidayah yang telah Engkau berikan kepadaku dan keluargaku. Satu Makna dari sebuah nama yang membawaku kedalam kebahagian. Semoga kebahagiaan ini akan abadi didunia maupun diakhirat. Aminnn…


*    *    *

  SELESAI
read more “Satu Makna Dari Sebuah Nama”